Maka berkatalah Izrail : ”Alangkah herannya aku melihat orang ini, sedang aku diutus oleh Allah ta’ala untuk mencabut nyawanya, namun dia masih bersenang-senang bergelak tawa”.
Manusia secar fitrah memanglah tak dapat lihat malaikat yang gaib ini, terkecuali beberapa orang shalih yang selalu ingat bakal kematian. Kelompok ini tak lupa serta senantiasa sadar pada hadirnya malaikat maut, lantaran mereka senantiasa memerhatikan hadist-hadist Rasulullah SAW yang pasti menerangkan tentang perkara-perkara ghaib, terlebih tentang kematian serta hubungan dengan malaikat maut.
Didalam satu kisah dikisahkan bagaimana caranya kerja Izrail mengtahui kapan manusia telah tiba ajalnya : “Allah SWT sudah membuat satu pohon dibawah Arsy yaitu sidratul muntaha, di mana daunnya itu sama banyak dengan bilangan makhluk yang Allah buat. Bila seorang itu sudah ditetapkan ajalnya, jadi umurnya cuma tinggal 40 hari dari hari yang ditetapkan.
Daun tersebut kemudian jatuh kepada Izrail, dengan begitu Malaikat Izrail mengetahui bahwa tugasnya mencabut nyawa orang yang tertulis pada daun tersebut. Para malaikat menyebutnya sebagai mayat di langit, meskipun hidup manusia tersebut masih 40 hari lagi. Setelah itu, akan jatuh dua titisan dari bawah Arsy pada daun menuliskan mayit langit ini, satu titisan berupa warna hijau dan satu lagi berupa warna putih.
Untuk mengetahui tempat mati, maka Allah menjadikan malaikat Arham. Apabila Allah mencipta sesuatu kelahiran, Dia perintahkan malaikat Arham tersebut masuk ke dalam sperma yang berada dalam rahim ibu dengan debu bumi yang akan diketahui di mana ia akan mati, lalu keluarlah seorang hamba itu menuju ke mana saja di pelosok bumi ini. Kemudian pada saat kematian tiba, iapun akan kembali pada tempat pengembalian dari pada debu di mana di situlah ia akan menemui ajalnya.”
Sebagaima firman Allah subhanallahu wa ta’ala :
Allah subhanallah berfirman : “Katakanlah, sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu, akan keluar juga ke tempat mereka terbunuh…” (Ali Imran : 154).
